Minggu, 11 Desember 2011

Usah Merisaukan Rezeki


Oleh bidadari_Azzam
Tamuku datang dari luar kota, dua jam mengendarai mobil ke Krakow. Sebelum ke appartemen kami, dia dan istrinya menginap di appartemen temanku lainnya, tepat di centrum Krakow, mobil mereka diparkir disana.
Mister X sebut saja begitu, ia adalah orang yang serba bisa, usianya di atas empat puluh lima tahun. Zaman sekolah di Poland kala komunis masih berkuasa, anak-anak lelaki harus bisa menjahit baju dan memasak serta membersihkan rumah. Anak perempuan pun harus bisa menambal ban, mengecat rumah, dan memegang alat pertukangan. Mister X baru setahun menikah dengan seorang wanita Indonesia, ia bilang pada suamiku bahwa wanita Poland biasanya amat materialistis, makanya ia amat bahagia bisa menikahi wanita Indonesia. Padahal di Indonesia juga banyak kok ‘pria atau wanita matre’ alias materialistis akibat budaya kian konsumtif, dan tuntunan hidup yang jauh dari aturan-Nya.
Mister X pandai membuat selai buah sendiri, sayur yang dilembutkan sebagaimana tradisi di Poland, bahkan bisa membuat kue-kue sendiri. Ia ajarkan kreativitas itu kepada istrinya, dan mereka bawa hasil kreasi itu saat mengunjungi kami.
Singkat cerita hari itu, Mister X mengobrol dengan bahasa Inggris yang tak terlalu lancar karena dialek yang berbeda (karena ia lebih ahli bahasa Jerman sebagaimana kebanyakan orang tua di Poland), mengomentari makanan yang disajikan banyak sekali, ia bilang, “Kami tidak mau sering-sering ke Krakow, takut nanti mengganggu kalian…”. Saya dan temanku bilang, “Lhooo, mengganggu kenapa? Kami amat senang jika kalian datang. Kami malah bahagia kalau kamu sering datang ke Krakow….”.
“Nanti uang kalian habis buat beli makanan, bikin masakan buat kami, kasian dong mengganggu badjet.”, serius dan datar suaranya. Sebenarnya budaya orang asia, membicarakan hal ini adalah “rahasia perusahaan” alias urusan Rumah tangga masing-masing, namun mungkin bagi Mister X hal itu sudah biasa diungkapkan di depan temannya yang lain. Maka temanku tentu menjelaskan panjang lebar, “Oooh, tidak, mister. Kami semua amat senang kalau kalian berkunjung ke Krakow. Saya udah biasa menerima tamu dari negara atau kota lain, menginap di tempatku, dan memasak sebisaku, kami senang menjamu teman-teman. Kami tidak hitung-hitungan soal makanan, dan sebagainya, jangan risau, mister….”, saya dan teman lainnya pun tersenyum.
Si mister geleng-geleng kepala, katanya, “Ini makanan banyak-banyak di meja, mahal, bagaimana sih kamu bisa mencukupi makanan dan kebutuhan lainnya, anak kalian kan banyak?!”, lucu juga kalimatnya. Padahal jagoan kami baru tiga---belum selusin atau dua puluh anak seperti tetangga ibuku di tanah air, hehehe, begitulah di Eropa, kebanyakan orang sini menganggap anak-anak sebagai beban, tujuan hidup di dunia untuk bersenang-senang, maka kalau ‘beban anak-anak’ mengganggu kesenangan, tujuan hidup itu tak tercapai.
Saya sempat menceritakan bahwa sore kemarin saat membeli bunga di kedai bunga langgananku, pelayan-pelayan (mereka sudah kenal dengan bayiku yang selalu terlelap dalam kereta bayinya usai menyusui) menyapa bayiku, memainkan hidungnya sesaat seraya memberikan hadiah boneka gajah. Hihihi, biasanya kami membeli beberapa tangkai bunga hanya dengan beberapa recehanzloty (itu pun sering didiskon), sehingga rezeki boneka gajah lucu seharga 10Euro-an itu plus perhatian yang diberikan oleh mereka amat berkesan di hati. Siapakah yang menggerakkan hati pemilik kedai untuk memberikan hadiah tersebut? Subhanalloh!
Saya tak mau berpanjang lebar menjawab si Mister, pondasi iman kita saja sudah berbeda, cahaya islam ada di hatiku, tidak di hatinya, maka tentu saja Saya harus memilah-milah kalimat yang paling mudah dicerna kalau menjelaskan tentang “Rezeki-Nya Maha Luas” hingga tak dapat dituliskan dalam lembaran kertas, jua tak dapat diucapkan dalam runutan kata-kata.
Saya berucap sedikit serius, “Saya sekeluarga tak pernah menghitung detail urusan dana, mister, apalagi buat makanan. Kalau Saya siapkan banyak masakan, apalagi di musim dingin, itu lumrah, sebab Saya yakin ini masakan adalah kesukaan keluarga, jadi pasti habis, yang penting kami di rumah punya komitmen untuk tidak boleh membuang makanan. Hitungan badjet sih ada, namun hitungan dari Tuhanku yang paling sempurna. Coba saja mister hitung, usia empat puluh tahunan anda bisa beli rumah setelah banting tulang dan berhemat ketat, menabung dua puluh tahun lebih. Namun Saya yang ibu rumah tangga sekaligus berkuliah, waktu itu bisa beli rumah juga di usia dua puluh dua tahun, gimana cara hitung badjetnya, kira-kira?”, si mister sedang tidak konsen, hanya “Ohhh”, yang keluar dari lisannya sambil berkerut dahi.
Teman kami lainnya pun bilang, “Orang Indonesia amat senang berbagi, mister. Kami suka berkumpul bersama, temu kangen, dan masak makanan Indonesia biar gak stress kalau lagi rindu kampung halaman… Bagi kami, apa-apa yang diberikan pada orang lain, justru merupakan keberkahan, lho….”, si mister masih ber-Oooh saja, nampaknya dia tak sepakat.
Usai menikmati cemilan dan makan siang di appartemenku itu, teman-teman tersebut barengan denganku menaiki bus ke arah sekolah Azzam karena Saya harus menjemput sulungku pulang sekolah. Kami berpisah di halte bus berlainan.
Setiba di rumah kembali usai menjemput Azzam sekolah, ponselku berdering, temanku yang di centrum itu menelepon, “Yah, halo…say?”, sapaku. Katanya, “Aduh, ada masalah nih….”, bisik-bisiknya. “Lho, kenapa-kenapa nih…?” Teman itu menjelaskan, “Mobil si mister hilang, kan dari kemarin diparkirnya tidak di depan rumahku, dia ngotot mau parkir di ujung jalan…Nah, pas baru mau pulang, eeeh…. Gak ada di parkiran! Sepertinya diangkut petugas dan ditilang, karena letak parkir yang salah. Kamu ada teman Poland yang bisa bantuin gak nih…?”, ujarnya. Suami temanku itu sedang ada rapat penting, demikian pula suamiku, hpnya dimatikan karena sedang meeting.
Saya hanya mencoba bertanya ke seorang teman yang bisa mengangkat teleponku sore itu, biasanya yah kalau ditilang, bisa diambil dengan membayar denda, itu infonya.

Kalau di kota lain, kadang-kadang kami lihat mobil yang ditilang (karena parkirnya di tempat yang salah) hanya dikasih surat tilang yang wajib dibayar. Atau dikunci bannya, lalu jika denda sudah dibayar, ada petugas yang akan membuka kunci tersebut. Namun entahlah dengan mobil si mister, petugas langsung mengangkut mobilnya. Sewaktu temanku menelepon ke petugas berwenang, katanya si mister parkirnya amat fatal, seluruh badan trotoar tertutup mobilnya, jadi mengganggu pejalan kaki dan pemilik rumah di ujung jalan itu, maka mobil itu langsung dibawa petugas.
Si mister paniknya luar biasa---seperti agak stress, temanku menyesalkan kejadian itu, “Sebenarnya masalah sepele, kan…tapi mister X panik banget sampai gak mau duduk dan mondar-mandir kayak setrikaan aja. Mister ngoceh dan ngomel-ngomel tanpa memandang bahwa kita ini teman-temannya, omelannya diulang-ulang ‘yaaa ampun, mahal banget dendanya, Saya gak mau ke Krakow lagi….gak mau lagi! Rugi saya! Rugiiiii! Gila ini…’, yah jelas aja bikin yang lain juga gak enakan…urat-uratnya kelihatan, mukanya merah, seram, Saya juga jadi deg-degan…”, temanku menceritakan hal itu setelah masalahnya selesai. Sore itu menjelang malam, suami teman yang di centrum itu harus segera berangkat projek ke negara tetangga. Jadi yang menemani mister adalah teman kami yang lain, istri si mister menunggu di centrum, sambil bilang “Yaaah, gak apa-apa, dia kan susah dibilangin bahwa harus banyak sedekah…Anggap aja sedekah…”, kalimat yang malah tambah membuat suasana tegang di saat mister ngomel-ngomel.
Ternyata saat teman lain menemani mister X menuju kantor petugas yang menilang itu, sepanjang jalan mister X tidak berhenti mengomel di dalam taksi, sungguh deg-degan hati si teman ini. Omelan mister adalah hal yang sama, dia diberi info oleh petugas bahwa ia harus membayar denda kira-kira dua ratus euro.
Nah, yang diributkannya adalah uang dua ratus euro itu. Padahal, kami tawari bantuan dana, malah ditolaknya. “Rugiii saya! Rugi! Berapa jam itu jatah saya kerja mengumpulkan dua ratus euro, koq terbuang buat bayar tilang!
Padahal parkir kayak gitu kalau di kota saya, boleh koq… bla…bla…bla…”, alhasil setelah mobil bisa diambil kembali, cara menyetir jadi lebih brutal akibat masih emosi dan panik, teman kami mencoba bersabar dan menahan nafas saat mister beberapa kali hampir menabrak mobil lain di jalan raya.
Selalu saja tak berhenti ‘ngedumel’, “ah! My 200 euro, Oh! It’s mafia, it’s bad, Oooh 200 euro…Arrrrgh!”, bagaikan 200 euro itu sudah membuat jiwanya melayang, ia bilang bahwa dirinya pusing sekali, tapi terus saja menyetir dengan mengomeli polisi yang mengambil denda si ‘200 euro’-nya.
Duhai Mister X, semoga Allah ta’ala melimpahkan cahaya islam di hatimu, dengan terangnya cahaya itu, engkau akan memahami bahwa setiap ujian yang datang dari-Nya, pasti diiringi solusi dan rezeki-Nya nan berlipat ganda, kami tak sangsi akan janji-Nya.
Setelah urusan administrasi mobil tersebut beres, Mister menjemput Istrinya di Centrum, dan mereka berpamitan dengan situasi yang kurang mengenakkan. “Padahal, Suamiku itu mau beli celana baru di Krakow, tapi milihnya lama banget, karena memang belum menemukan celana yang diinginkannya. Eh, uangnya malah lenyap disuruh bayar tilang. Kelamaan sih nyimpennya yah, hehehe,” ujar teman yang merupakan Istri dari Si Mister.
Kami yang jauh lebih muda darinya hanya bisa berucap bahwa pembelajaran diri dan penataan emosi ternyata tak pandang usia, “Perhitungan rezeki-Nya amat sempurna. Dua teman kita lainnya malah dapat celana dan kaos baru gratis karena dapat oleh-oleh dari Si Fulan. Sedangkan Mister yang cermat perhitungan badjetnya, malah gak jadi deh dapat celana baru. Sebenarnya kami pernah berada dalam kondisi lebih sulit dari itu, jeng. Sewaktu kami akan pindah dari Bangkok dan sudah check-out appartemen, ternyata bayiku meninggal di rahim, maka Saya harus tinggal di rumah sakit, bayangkanlah… urusan dua ratus Euro bukanlah masalah besar kalau dibandingkan dengan kejadian itu kan?” ujarku. Lagi pula, masih amat beruntung cuma ditilang (dan memang karena kesalahan memarkir sendiri), bukan dibakar atau dirampok orang lain sebagaimana pengalaman brother kita dari Afrika Selatan.
Temanku menimpali, “Yah sama, kan aku pernah cerita bahwa Suamiku pernah batal terbang gara-gara ada badai salju, lalu harus menginap di Bandara, trus pernah pula sudah sampai ke Indonesia, malah bagasinya masih di Jerman, bayangkanlah cuma punya baju di badan…Kita sudah sering punya masalah yang lebih besar dari itu, makanya kemarin kita ajak dia supaya tenang, sabar, eeeh…malah dia menularkan kepanikan sampai situasi jadi amat menegangkan…” dan teman kami yang Istri Si Mister memang cukup bijak, “Makanya Tuhan belum ngasih anak buat kami yah. Berarti belum siap buat menghadapi masalah yang lebih besar lagi, hehehe…” katanya. Dan ia memang wanita yang sabar, masih setia dengan Sang Mister meski amat berbeda bahasa, pemikiran dan tradisi lainnya.
Kami teringat tukang jual buku di dekat kampus dulu yang tak lain adalah senior di kala kuliah. Dengan mendistribusikan buku dan majalah, kerja multitalenta lainnya di tengah padatnya jadwal kuliah serta menerima secuil bea siswa, ia bisa lulus dengan baik bahkan turut membantu menyekolahkan adik-adiknya di desa. Malah dengan keuntungan dagang yang tak seberapa, ia merupakan donatur rutin musholla di dekat kos-kosannya. Allah SWT Sang Pemberi Kecukupan Rezeki baginya.
Saya teringat akan dua sahabatku di Negeri Jiran, yang satu usai melalui masa kritis karena terapi leukemia bagi bayinya, yang satu lagi terpisah dengan Suami hingga sepuluh tahun lamanya akibat tuduhan terorisme maka ia harus menjadisingle-parent bagi kelima buah hatinya. Bahkan ketika anak sulungnya baru lulus sekolah, ujian kesabaran datang lagi, Allah ta’ala mengambil kembali sang amanah tersebut.
Allah ta’ala mengingatkan kita, “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] : 1-3)
Pernah ada teman yang menanyakan kepadanya, “Bagaimana Ummu bisa membayar ratusan juta rupiah untuk kimoterapi ini padahal gaji Suamimu tak seberapa?” Juga kepada sohib yang satu lagi, “Bagaimana kamu menafkahi anak-anakmu hanya dengan menjadi Guru mengaji di Pesantren, hingga mereka bisa bersekolah, koq bisa sih?” dan pertanyaan ‘reseh’ sejenis itu.
Dan kedua Ibu Sholihat itu punya jawaban sama, “Allah Maha Kaya, Dia-lah yang mencukupkan rezeki kami. Allah Sang Pemberi solusi atas semua problema yang kami hadapi, maka kami bersyukur bahwa Allah ta’ala selalu menjaga keluarga kami untuk menegakkan kalimat tauhid di bumi-Nya ini…” Subhanalloh… hitungan rezeki tak bisa diotak-atik dengan kalkulator manusia, tak dapat dianalisa dengan mata kita, namun Allah ta’ala punya perhitungan-Nya sendiri, mata hati kita-lah yang mengakui kehebatan hitungan-Nya, insya Allah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ”Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari)
Seorang Mukmin meskipun hidupnya penuh ujian dan musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat, dan musibah yang ada terasa amat nikmat karena ia tahu bahwa Allah ta’ala selalu melimpahkan solusi pendamping problema, dan memberikan rezeki berlipat ganda di kala cobaan datang tak terduga.
Sering pula Allah ta’ala menyelamatkan kita dari makan rezeki yang tidak halal. Misalnya kejadian tumpahnya sup oleh anak dari Sisterku, sup tersebut diberi oleh tetangga mereka yang non Muslim. Ternyata isi sup adalah daging angsa bercampur pork-cincang, tetangganya menginfokan hal tersebut ketika berjumpa keesokan harinya. Dan sang Sister malah bersyukur, “Alhamdulillah ya Allah… untung kami tak memakan sup itu, Alhamdulillah sup itu malah tumpah”.
Atau malah bisa saja rezeki yang tadinya sudah akan masuk ke tenggorokan, ternyata bukan hak kita. Saya pernah menyiapkan nasi panas lengkap dengan lauk-pauk dan sambal favorit kangmasku. Namun ketika ia pulang dari kantor, badannya lemas, demam dan merasa harus segera berbaring. Ternyata nasi panas komplet memang bukan rezekinya malam itu, ia tak dapat menikmatinya, lidah pahit dan amat lemas. Maka ia meminta dibuatkan minuman jahe dan susu hangat, kemudian segera tidur agar cepat sembuh.
Demikian pula kejadian sore tadi, pak tua di halte bus sedang mabuk, seraya membeli roti bundar. Dalam keadaan mabuk, ia pegang rotinya, lalu berpapasan dengan temannya. Si Teman Pak tua membawa anjing yang sangat kumal, anjing itu berjongkok. Saya perhatikan momen tersebut, tentu saya rekam dalam ingatan, ketika Pak Tua mengobrol dengan temannya sambil ingin menggigit rotinya, tiba-tiba ia tersedak, rotinya jatuh tanpa plastik. Lebih malang lagi, anjing temannya pas sedang pipis di atas roti yang jatuh itu. (masih untung petugas penilang tidak memergoki Si Anjing, tuh…) Pak Tua pun malah mengomeli hewan tersebut. Mungkin bagi orang lain di sekitar halte, kejadian ini menjijikkan. Mereka menjauhi Pak Tua dan temannya. Dan bagi diriku, peristiwa itu pasti ada hikmah-Nya. Allah SWT sedang mendidikku dan menambahkan pemahaman bahwa rezeki itu selalu diatur-Nya dengan apik dan indah.
Masih ingat pula akan pengalaman Mak Salamah, ketika anaknya sudah empat, kemudian hamil lagi yang kelima dan keenam. Sebetulnya, ia pernah menangis, air mata kebingungan karena merisaukan pembiayaan hidup anak-anaknya. Kemudian Ayah dan Pamannya yang bijak menasehati, “Kamu pikir bahwa suamimu dan dirimu yah yang memberi rezeki? Ya tentu saja tak cukup! Berpikirlah bahwa Allah ta’ala yang mengatur segala urusan, bahwa rezeki, musibah, jodoh dan maut berada dalam genggaman-Nya. Kenapa khawatir, semuanya ada jaminan dari Allah ta’ala!” nasehat itu ternyata menambah keimanan pada dirinya. Mak Salamah pun makin doyan bersedekah, meski ketika urusan finansial menyempit, karena ceramah yang ia dengar, “Bantulah saudaramu, maka Allah SWT selalu membantumu,” ia camkan dalam hati bahwa jika memudahkan urusan saudara, maka Allah ta’ala akan memberikan kemudahan baginya pula, dan hal itu memang terbukti. Sekian tahun ketika anak-anaknya sudah dewasa, ternyata selalu ada solusi atas problema hidup rumah tangga mereka.
Keenam anaknya tak kekurangan makan, plus susu setiap sarapan malah, bisa les tambahan kalau usai jam sekolah pula. Kalau anak-anaknya menerima hadiah atas prestasi di sekolah, itu bonus tambahan kebahagiaan bagi Mak dan suaminya. Hingga anak yang kelima mengajak orang tuanya berjalan-jalan ke ibu kota, ke pulau lain, bahkan ke luar negeri sebagai hadiah saat Mak dan suaminya menikmati masa pensiun. Siapakah yang Maha Mengatur rezeki berlimpah itu? Allahu Akbar! Mak Salamah masih sering menangis dalam sujudnya, “Ya Allah… ternyata Engkau memang Maha Penjamin rezeki, ampuni hamba yang dahulu pernah meragukan pertolongan-Mu…”
Mari menjaga diri untuk tetap optimis, saudaraku. Apapun keadaan kita sekarang, inilah rezeki-Nya yang harus disyukuri. Ber-azzam dan berniat menggapai target yang lebih banyak tentu harus kita barengi dengan ikhtiar yang optimal, namun selanjutnya kita tidak perlu gundah pun risau akan hasil akhir, Allah ta’ala adalah sebaik-baik pemberi ganjaran.

0 komentar:

Posting Komentar