Abdurrahman Ibn Khaldun (1332 M-1406 M), lahir di Tunisia, adalah sosok pemikir muslim legendaris. Ibnu Khaldun membuat karya tentang pola sejarah dalam bukunya yang terkenal: Muqaddimah, yang dilengkapi dengan kitab Al-I’bar yang berisi hasil penelitian mengenai sejarah bangsa Berber di Afrika Utara. Dalam Muqaddimah itulah Ibnu Khaldun membahas tentang filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai jatuh bangunnya negara dan bangsa-bangsa. Menurut Ibnu Khaldun jatuh bangunnya sebuah negara ditentukan oleh sikap manusia yang ada di dalamnya. Itulah faktor akhlak.
Ternyata, menurut Ibn Khaldun, negara yang bertahan ialah negara yang ‘baik’ di dalam segala urusan kenegaraannya. Sebuah negara yang disukai rakyatnya sudah pasti akan dipertahankan dari keambrukan lantaran putaran perjalanan sejarah bangsa manusia. Peradaban maju karena faktor akhlak dan runtuh karena rusaknya akhlak. Pemikiran Ibnu Khaldun ternyata kemudian hari diperkuat oleh ahli dari Universitas Harvard bahwa ‘Sikap mental dan karakter sebuah bangsalah yang menentukan kemajuan dan kemundurannya’ (“Culture Matters”, Harvard University).
Terkait hal ini, maka bangsa-bangsa yang tersebut besar di zaman kontemporer dalam kurun ini, pastinya memiliki faktor akhlak yang mereka pegang, walau mungkin hanya satu dua. Zaman Uni Soviet dahulu berpaham komunis, walau bagaimana jahatnya Komunis itu, tentunya ada tetap memegang satu dua nilai akhlak, diantaranya akhlak tentang kebersihan, seperti betapa bersihnya sungai dari sampah di sana.
Kita tak akan berbicara tentang akhlak bernegara, tapi penulis tertarik untuk membawa konsep pemikiran ibnu Khaldun pada ranah dunia pendidikan untuk melihat sejauh mana peran serta budi pekerti, moral perilaku atau apa saja sinonim dari kata akhlak ini terhadap kemajuan pendidikan di institusi pendidikan mana saja.
Semangat belajar
Ada banyak pepatah di banyak negara yang menyangkut tentang kesungguhan, seperti Siapa menanam dia akan menuai (pepatah Melayu), you reap what you sow (pepatah Inggris), atau Man Jadda wa jadda (pepatah Arab). Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan. Suatu waktu kita mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, bisa jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesungguhan dalam meraihnya. Kita terlalu santai, atau pasrah sebelum bekerja keras mencapai cita-cita.
Mengujungi kampus UGM Yogyakarta di sore hari menjelang magrib membuat terkesima. Nampak para mahasiswa yang sedang serius belajar kelompok di taman kampus. Perpustakaan kampuspun buka hingga malam, dan para mahasiswa juga dengan serius belajar disana, kadang membawa makanan dan minuman sebagai bekal. Tak terdengar canda tawa karena ‘khusyu’nya. Maka terasa wajar, bila peringkat teratas nasional dan masuk peringkat internasional yang diraih UGM, yang sekali waktu bergantian dengan ITB dan UI. Pemeringkatan tersebut tidak hanya oleh lembaga pemeringkatan Direktorat Pendidikan Tinggi melalui BAN-PT, tapi lembaga pemeringkatan universitas dunia seperti Webometric, QS World University Ranking, atau Times Higher Education menempatkannya pada posisi ratusan di universitas terbaik dunia.
Sungguhpun demikian, durasi belajar mahasiswa di TU Delft Belanda ternyata lebih panjang dari UGM. Mereka bahkan bisa belajar serius di kampusnya dari pagi hingga jam 12 malam (waktu tutup pustaka/kampus). Semua ruangan pustaka senyap, bahkan pena jatuhpun terdengar. Tak ada berisik walaupun di dalam pustaka ada ratusan mahasiswa yang sedang belajar. Kembali, Webometric, QS World University Ranking, atau Times Higher Education menempatkan Universitas pencetak insinyur kompeni untuk konstruksi di Indonesia di zaman kolonial dulu ini berada di urutan puluhan di dunia.
Jika demikian maka Universitas kelas papan atas dunia, macam Harvard University atau Massechuset Insitute of Technology tentu memiliki durasi belajar yang juga menggila. Sebutan workaholic diidentikkan pada bangsa Jepang karena gila kerja masyarakatnya, maka study-holic pantas pula disebutkan pada civitas penggila belajar diatas.
Cina saat ini adalah negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur tercepat dunia. Cina juga memiliki cadangan devisa terbesar di dunia saat ini. Serbuan barang-barang produksi Cina membuat semua negara khawatir. Bahkan di pasar tradisional Pasar Raya Padang, pedagang buah juga ketakutan dengan serbuan jeruk dari Cina.
Selain semangat bekerja, penduduknya juga mempunyai semangat belajar yang sangat besar. Bahkan masyarakat golongan kebawah pun ulet belajar. Hingga anak-anak kecil di lingkungan pemulung, disela kegiatan mereka untuk menyambung hidup, diisi dengan belajar.
Bekerja keras adalah sebuah akhlak, sementara malas-malasan adalah dosa yang disingkirkan dengan memotivasi diri serta doa harian. Untuk memotivasi bisa dilakukan dengan memasang target harian, target bulanan, semesteran, tahunan dan juga membiasakan diri berada dalam sistim dan lingkungan yang kondusif dan kompetitif. Siapa yang sungguh dia yang mendapat, dan siapa yang menanam dia kan menuai. Itulah sunnatullah (hukum Allah yang berlaku di alam, atau biasa disingkat hukum alam).
Penjagaan integritas kejujuran
Pepatah Inggris juga, the science rests first on integrity. Di Jerman, amat sulit ditemukan perilaku ketidakjujuran akademis. Tesis, disertasi, atau skripsi yang merupakan plagiasi atau manipulasi jarang dijumpai. Mencontek adalah ketidakjujuran akademis yang diganjar dengan hukuman yang amat keras, yakni bukan hanya tidak lulus, tetapi juga dikeluarkan. Semua aturan terkait kejujuran itu sudah tercantum dalam apa yang namanya Studienordnung.
Terlihat Jerman tidak hanya menghargai kejujuran, bahkan menempatkannya sebagai spirit pendidikan. Ketika membuat skripsi, mahasiswa tidak bisa begitu saja mengkopas (copy dan paste). Bila kedapatan melakukan copas jangan dikira bisa lolos mudah. Maka, dalam skripsi atau karya tulis pun semua harus jelas. Bila diketemukan ada paragraph yang mirip dalam karya ilmiah, si mahasiswa bisa dikeluarkan. Untuk bisa lulus, di Jerman memerlukan perjuangan yang amat keras. Ya, disana untuk bisa lulus penuh keringat dan air mata.
Jadi di negara yang dikatakan orang maju, seperti Eropa, Amerika, Australia, dan lainnya sangat ditekankan DILARANG MENYONTEK dalam ujian. Sesiapa kedapatan menyontek, maka ia akan dikeluarkan dari sekolah/kampus. Tapi hasilnya adalah adanya budaya jujur yang terbentuk selama mereka mengalami proses pendidikan, dan mereka para lulusan ini memiliki rasa percaya diri.
Kejujuran yang mendorong persaingan yang sehat dan berkorelasi dengan prestasi bisa disimak pula dari Diniyah Putri Padang Panjang. Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan Rahmah el Yunusiyah tahun 1923 ini, tergolong unik dalam penerapan sangsi terhadap siswa yang tidak jujur. Bagi siswa yang kedapatan mencontek dan sejenisnya, hukuman tak main-main: pecat di tempat!
Apakah sangsi itu tidak manusiawi atau akan menurunkan prestasi sekolah? Takutkah Diniyah Putri dengan nilai yang rendah sementara sekolah lain tinggi semua? Ternyata tidak, sangsi yang keras ternyata sangat berdampak positif. Setelah sekolah ini menerapkan pecat di tempat bagi santri yang ketahuan mencontek dalam lima tahun terakhir, pencapaian nilai santri naik hampir dua kali lipat. Tahun ini dua orang santri mampu meraih peringkat pencapai nilai UN tertinggi di Sumatra Barat!
Sungguhpun sangsi terhadap ketidakjujuran berat, tapi buahnya manis, baik untuk skala micro atau makro. Bagi individu jelas dia akan mempunyai kapasitas ketika telah lulus, bagi universitas akan meningkatkan gradenya, dan bagi negara akan ada stock pengelola negara yang akan bersih dalam menjalankan pengelolaan negara kelak, yang jauh dari korupsi yang dikelola oleh orang yang tak biasa untuk tidak jujur. Riset akademik dari universitas Harvard diatas menemukan relevansinya bahwa negara-negara yang tergolong miskin di dunia ini berkorelasi dengan tingginya korupsi di negara itu. Korupsi lagi – lagi adalah bentuk ketidakjujuran, dan ketidakjujuran adalah akhlak yang tercela.
Pandangan Prof. DR. Buchari Alma (UPI Bandung) tentang akhlak kejujuran dalam pendidikan.
Kantin kejujuran telah banyak dibangun di beberapa sekolah di Sumatera Barat. Seorang Guru Besar UPI Bandung, Prof. DR. Buchari Alma berkenan untuk mengomentari usaha mulia dari pemerintah daerah di Sumatera Barat dalam melaksanakan Pendidikan Antikorupsi di Padang yang ternyata dikabarkan belum berjalan maksimal.
Dalam artikel beliau yang berjudul “Pendidikan Anti Korupsi, Membangun Bangsa Yang Jujur, Disiplin, Percaya Diri, Kreatif, dan Rajin Membaca Melalui Proses Ujian Sekolah”, Prof. DR. Buchari Alma memberikan perspektif yang lebih tegas tentang urgensi akhlak kejujuran dalam pendidikan nasional kita.
Menyangkut budaya nyontek yang parah di sekolah (hingga juga mahasiswa S1, S2, S3), beliau menegaskan akibat dari nyontek ini memunculkan perilaku, atau watak, tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak mau membaca buku pelajaran tapi rajin membuat catatan kecil-kecil untuk bahan nyontek, potong kompas, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya menjadi koruptor.
Beliau melihat perilaku nyontek dalam proses ujian adalah simpul yang amat strategis yang perlu dibasmi dalam proses ujian dunia pendidikan kita, dan bahwa kita harus mengembangkan suatu budaya DILARANG KERAS NYONTEK dalam ujian, dan harus diberikan sanksi berat dan tegas tidak pandang bulu.
Pengaruh dari pelaksanaan ujian bersih dari menyontek seperti ini ialah, siswa akan belajar giat, guru akan mengajar lebih serius, anak-anak akan rajin membaca, kegiatan siswa akan fokus pada pelajaran, bukan pacaran, tawuran, mencuri, kenakalan remaja, bermain-main, tapi siswa mulai disiplin dan bertanggung jawab, dan orang tua tidak lagi mencampuri urusan pendidikan. Perilaku jujur akan menjadi budaya nasional kita khususnya budaya jujur dalam dunia pendidikan, dimana ada proses ujian yang mendidik lulusan menjadi orang jujur, tidak korup, memiliki budaya malu, disiplin, bertanggung jawab, percaya diri, dan rajin membaca.
Demikianlah kerisauan Prof. Bukhari Alma tentang Akhlak kejujuran. Maka kurikulum dengan akhlak kejujuran dalam pendidikan, ada baiknya ditekankan sekali disamping kita berbicara tentang pelik peningkatan kualitas pembelajaran, apakah yang namanya Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), sistim asesmen, dan seterusnya. Mari kita sebut dengan juga dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kejujuran).
( Penulis adalah Dosen Jurusan Kimia, pernah mengikuti excursion course ke Jerman)
Sumber : SKK Ganto UNP Padang, Edisi September 2011
tulisan di-atas di copas dari sini
0 komentar:
Posting Komentar