Menjadi kader dakwah memang dituntut untuk belajar. Mengingat begitu banyaknya persoalan umat dan pergolakan dalam dakwah, membuat kita harus senantiasa belajar, menjadi pembelajar. Sementara pembelajaran pertama yang mesti kita lakukan adalah belajar untuk terus belajar. Ketika kita tidak belajar untuk terus belajar, maka kita bukanlah seorang pembelajar. Karena hanya seorang pembelajarlah yang dapat mengajar (baca: dakwah).
Betapa banyak di antara kita yang pupus tarbiyah, atau terpelanting dari dakwah, lantaran tak mampu bertahan untuk terus belajar; Belajar memahami qiyadah ataujundi-nya, belajar menghargai waktu, belajar menahan ego, belajar amanah, belajar ridha kepada keputusan jama’ah, belajar sabar ketika merasa paling benar, belajar bersyukur walau hati sedang hancur, hingga belajar istiqomah meski itu terasa susah.
Pembelajaran sejati akan membawa kita pada sebuah proses pendewasaan, yang mana akan melahirkan kebijaksanaan dan kesadaran. Sehingga seorang kader dakwah yang betul-betul belajar, dirinya tidak akan terkungkung pada hal-hal parsial tanpa substansi global, atau sebaliknya, terjebak substansi global tanpa memperhatikan hal-hal parsial.
Dirinya tahu mana agenda yang harus diprioritaskan, antara memillih kepentinganwajihah atau mengutamakan jama’ah luas. Indikasi memilih juga tidak terletak pada mana yang ‘enak’ untuk dirinya atau tidak. Ada kepemahaman yang ia sadari, bahwa agenda dakwah ini bukanlah seremonial atau kesenangan belaka, melainkan ada tujuan besar di balik itu semua.
Namun, tujuan besar dakwah ini tidak akan terealisasi sekiranya para kader dakwahnya masih mengacuhkan hal-hal yang dianggap remeh temeh, semisal tentang waktu, kebersihan, atau komunikasi yang baik. Sebagai contoh, dirinya tidak akan terlambat datang pada pertemuan-pertemuan tanpa ada udzur syar’i. Kalaupun benar-benar tidak bisa, ia akan mengatakan, “’Afwan jiddan, saat ini ana masih mengurusi agenda X. Sekiranya baru selesai dan bisa sampai sana 3-4 jam lagi. Sulit untuk datang ke pertemuan. ‘Afwan, sekiranya antum izinkan, ana tidak hadir dulu. Bagaimana? Ana siap dengan keputusan antum.” Dirinya menjelaskan kondisinya dengan lengkap, tanpa dikurangi atau ditambahi. Dan yang terpenting, dirinya meminta izin (QS. 24: 62-63), bukan memberitahuan izin, “’Afwan enggak bisa.”
Menjadi kader dakwah adalah menjadi agent of change, agen perubahan. Maka sudah selayaknya, perubahan besar umat ini kita awali dengan belajar merubah diri kita sendiri. Ibarat lilin, dirinya tidak akan mampu menyalakan lilin lainnya, apabila dirinya sendiri tidak menyala, bukan?
Seperti yang pernah diungkapkan Albert Einstein, “Orang gila adalah orang yang menginginkan hasil berbeda, tapi tidak mengubah tindakannya.” Oleh karena itu, mari kita mengevaluasi. Barangkali ada yang salah pada diri kita. Atau, jangan-jangan kita memang salah. Salah dalam menyikapi evaluasi itu sendiri. Sehingga tak heran jika selama ini, dari setiap evaluasi, poin-poin kesalahan masih tetap saja sama dari masa ke masa. Kita lupa, bahwa selalu ada pembelajaran yang dapat kita petik dari setiap evaluasi. Pembelajaran yang menimbulkan perbaikan. Perbaikan yang melahirkan kebaikan.
Maka cukuplah masa lalu menjadi pembelajaran bagi diri kita. Kini, coba kita telaah, sudah sejauh mana kita belajar untuk terus belajar? Minimal, belajar menjadi kader yang baik. Kader yang berkordinasi dengan baik, menjaga perasaan saudaranya untuk tetap baik, memberikan kontribusi terbaik, sampai berakhlak dan memberi keteladanan yang baik-baik.
Ya, semoga saja dengan begitu, diri kita tidak termasuk jenis kader “semangat tinggi tanpa bukti”.
Allahu a’lam…
sumber :http://www.fimadani.com/menjadi-kader-yang-baik/
0 komentar:
Posting Komentar